Perlu disampaikan terlebih
dahulu, pengetahuan kita tentang malaikat, khususnya umat Islam, berpedoman
kepada informasi yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan hadits, karena keduanya
memang berasal dari Allah yang Maha Tahu, Al-Qur’an adalah wahyu dengan redaksi
kalimat yang sepenuhnya berasal dari Allah, sedangkan hadits adalah wahyu yang
redaksi kalimatnya berasal dari Rasulullah, namun keduanya adalah wahyu juga
(dengan catatan hadits yang dimaksud memang berasal dari ucapan Rasulullah).
Sebagai seorang Muslim, kita tidak mengetahui tentang malaikat diluar jalur
tersebut. Mungkin saja ada yang mengenal malaikat melalui kontak langsung
misalnya Lia Aminuddin yang mengaku nabi dan menikah dengan malaikat Jibril,
atau juga banyak orang yang menyatakan diri sebagai wali atau orang sakti
karena mengaku telah bertemu malaikat, namun baiknya hal tersebut kita abaikan
saja.
Informasi Al-Qur’an dan hadits
menyatakan malaikat diciptakan Allah dengan desain sebagai makhluk yang
dimuliakan :
Dan mereka berkata :
"Tuhan
Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak", Maha Suci Allah.
Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan,
(Al-Anbiyaa': 26)
Bentuk kalimat ‘makhluk yang
dimuliakan’ adalah kalimat pasif, artinya kemuliaan malaikat bukan merupakan
hasil dari tindakan bebas mereka untuk menjadi mulia, tapi karena memang sudah
‘dicetak’ seperti itu.
Penjelasan Al-Qur’an yang lain
tentang sosok malaikat misalnya : Malaikat selalu mentaati perintah Allah dan
tidak pernah bermaksiat kepada-Nya (QS 21:27), menjalankan kewajiban yang
penting seperti menyangga ‘arsy (QS 69:17) mengatur urusan yang terkait
kehidupan manusia (QS 79:5), mengambil nyawa manusia dan makhluk hidup lain (QS
7:37), sebagai pengawas dan pencatat perbuatan manusia (QS 82:10-12). Semua
penjelasan tersebut menunjukkan malaikat berfungsi sebagai ‘instrument’ yang
melengkapi kehidupan manusia, sebagai ‘perpanjang-tangan’ Allah dalam
interaksi-Nya dengan manusia.
Malaikat tidak mempunya nafsu,
Al-Qur’an menceritakan bahwa mereka tidak memiliki nafsu untuk makan dan minum
melalui kisah kedatangan mereka kepada nabi Ibrahim dan menolak makanan yang
disodorkan beliau (QS 11:69-70). Dalam suatu pernyataannya Ali bin Abi Thalib
menyatakan :“Tidak ada kelelahan dan kelalaian di dalam diri mereka, serta
tidak pula ada penentangan … Rasa kantuk tidak pernah terlihat pada wajah-wajah
mereka, dan akal mereka tidak akan pernah berada dalam kekuasaan hawa nafsu dan
kelalaian. Badan mereka tidak pernah diselimuti oleh rasa lelah, dan mereka pun
tidak pernah berada dalam sulbi seorang ayah dan rahim seorang ibu.”
Dengan demikian maka malaikat
juga tidak pernah melakukan jihad karena inti dari jihad adalah pengorbanan
harta dan nyawa. Ketika Allah menugaskan para malaikat membantu kaum muslimin
dalam perang Badar (QS 33:9), hal tersebut tidak bisa diartikan malaikat ikut
berjihad, karena mereka tidak akan pernah mati dan bahkan tidak akan capek dan
lelah, apalagi harus kehilangan harta pada saat itu. Berbeda dengan manusia,
akibat dari desain mereka yang bisa melakukan pengorbanan maka manusia memiliki
konsep jihad yang bisa mereka pilih untuk dilakukan.
Malaikat juga bukan berjenis
kelamin laki-laki ataupun perempuan. Al-Qur’an mencela kaum musyrik Makkah
ketika mereka menyatakan malaikat berjenis kelamin perempuan :
"Dan mereka menjadikan
malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah
sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan
malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan
dimintai pertanggung-jawaban." (Az-Zhukhruf:19)
Sebaliknya, sekalipun dalam
beberapa kasus, malaikat menampakkan diri sebagai sosok laki-laki, namun tidak
ada nash yang menyatakan malaikat berjenis kelamin laki-laki. Karena itu bisa
dikatakan malaikat juga tidak memiliki nafsu seksual. Al-Qur’an juga menyatakan
bahwa malaikat tidak memiliki kebebasan untuk memilih, berinsiatif dan
keinginan, semata-mata hanya menjalankan perintah :
"mereka itu tidak mendahului-Nya
dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya."
(Al-Anbiyaa 27-28)
Berdasarkan dalil Al-Qur’an dan
hadist diatas, kita bisa memberikan gambaran bahwa sosok malaikat adalah
makhluk yang diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tidak memiliki
kehendak dan keinginan pribadi, hanya bergerak dalam perbuatan-perbuatan mulia
karena memang telah dimuliakan oleh Allah. Sebaliknya, kesempurnaan manusia
terletak kepada kehendak bebas yang telah ditanamkan Allah dalam desain
manusia, Allah menyatakan ;
"dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (Asy-Syams
7-10)
Ketika manusia menjadi mulia,
maka kemuliaannya merupakan hasil dari pilihannya sendiri, jelas ini berbeda
dengan kemuliaan malaikat yang telah ditetapkan untuk dimuliakan Allah. Kita
menjadi mulia diatas banyaknya alternatif untuk tidak menjadi mulia, hal ini
tentu saja berbeda ‘bobotnya’ kalau kemuliaan tersebut kita dapatkan karena
tidak ada alternatif lain dan memang menjadi satu-satunya pilihan.
Manusia yang mampu memuliakan
diri mereka dikatakan Al-Qur’an dengan sebutan ‘khairul bariyyah’ :
inna alladziina aamanuu wa'amiluu
alshshaalihaati ulaa-ika hum khayru albariyyati
"Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk."
(Al-Bayyinah 7)
Dalam ayat ini Allah tidak menyebut manusia yang beriman dan mengerjakan amal saleh dengan kata ‘al-khalqa’ seperti halnya ketika Dia menyebut manusia pada ayat lain, misalnya QS 10:4 , QS 10:34, QS 27:74 yang diartikan sebagai : ciptaan. Pada Al-Bayyinah 7 manusia diistilahkan dengan ‘al-bariyyah’ yang berasal dari akar kata ‘ba-ra-alif’ yang menurunkan kata dalam bahasa Arab yang diartikan bebas, berlepas diri (QS 43:26) , dan (QS 54:43), maka istilah ‘sebaik-baiknya makhluk’ tersebut mempunyai nuansa bahwa kebaikan tersebut berasal dari pilihan bebas yag sudah ditanamkan Allah dalam diri manusia. Sebaliknya pada ayat sebelumnya Allah juga menyebut istilah ‘syarrul bariyyah’ – seburuk-buruknya makhluk untuk manusia yang ingkar, artinya keburukan tersebut muncul dari pilihan manusia itu sendiri.
Pemahaman dari pemakaian kata ini
juga bisa diartikan bahwa kebaikan dan keburukan manusia tersebut merupakan
kondisi ‘yang paling’ diantara seluruh makhluk ciptaan, bahwa manusia yang
beriman dan beramal saleh merupakan makhluk yang terbaik diantara semua
makhluk, termasuk malaikat, sebaliknya bagi mereka yang ingkar akan menjelma
menjadi makhluk terburuk termasuk dibandingkan dengan binatang sekalipun (QS
7:179). Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan :”Abu Hurairah dan
sejumlah ulama telah menjadikan surat Al-bayyinah 7 ini sebagai dalil
pengutamaan orang-orang mukmin atas para malaikat”. (Tafsir Ibu Katsir jilid 8,
hal 518)
Beberapa tahun lalu kita
mendapatkan berita dari media massa tentang penduduk suatu desa yang menemukan
seorang bayi yang baru lahir tergeletak menangis dikebun terpencil, sekujur
tubuhnya dikerubuti semut karena masih terbalur dengan air ketuban, bayi
tersebut ternyata dibuang ibunya yang malu karena melahirkan anak haram diluar
nikah. Bayangkan.., bahkan Iblis-pun tidak akan sanggup membuang anaknya dengan
cara demikian. Pada peristiwa lain seperti diceritakan oleh Ahmad Deedat dalam
suatu ceramahnya, beliau mengisahkan kejadian terjangan badai pada suatu kota
dipinggir laut di Afrika Selatan. Dalam kondisi darurat tersebut para penduduk
melihat seekor anjing sedang berjuang melawan maut karena terseret ombak besar.
Mereka lalu berusaha menolong anjing dengan berpegangan tangan, mempertaruhkan
nyawa mereka agar bisa menjangkau anjing yang terseret ketengah laut tersebut.
Bayangkan lagi…, bahkan malaikat-pun tidak akan mau melakukan hal seperti itu.
‘Kebanggaan’ Allah terhadap
kesempurnaan manusia tergambar dalam ayat Al-Qur'an ini :
"sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At-Tiin:
4)
Manusia bisa memuliakan diri
mereka melebihi malaikat, dan juga menghinakan diri lebih rendah dari binatang,
sebab manusia telah di desain Allah dengan tingkat kesempurnaan yang melebihi
dari makhluk manapun.
Sumber: hikmah.muslim-menjawab.com