Ini adalah cabang
ilmu baru. Dengan menggunakan ilmu ini, maka segala hal bisa dicocok-cocokkan
dengan Al-Qur’an, sumber hukum paling utama dalam ajaran Islam. Dimulai dari
musibah.
Mengapa harus mulai
dari musibah? Ya, karena musibah adalah suatu hal yang dapat dengan mudah
menyentuh hati manusia. Selain itu, musibah juga secara otomatis mengingatkan
manusia kepada Sang Pencipta. Bahkan orang ateis pun – konon – ketika berada
dalam situasi genting, akan kelepasan ngomong “Ya Tuhan!” Kalau seorang ateis
pun bisa begitu, apalagi rakyat Indonesia yang dikenal sangat religius ini.
Meletusnya Gunung
Kelud beberapa waktu yang lalu jelas membuat semua orang kaget. Letusannya pun
tak tanggung-tanggung. Angin yang bertiup ke arah Barat menyapu Yogyakarta,
Solo dan sekitarnya dengan abu vulkanik. Beberapa bandara terpaksa ditutup
karena tak ada pilot waras yang mau menerbangkan pesawatnya di tengah hujan abu
vulkanik yang demikian dahsyat.
Marilah kita mulai
mencocokkan. Meletusnya Gunung Kelud terjadi pada tanggal 13 Februari 2014
sekitar pukul 22:49 WIB. Data inilah yang akan jadi landasan berpijak kita.
Paling tidak, ada dua
metode yang lazim digunakan dalam ilmu Cocokologi ini. Pertama, cocokkan hari dan bulan kejadian
dengan surah dan ayat dalam Al-Qur’an. Kedua,
cocokkan jam dan menit kejadian dengan surah dan ayat dalam Al-Qur’an. Mudah,
bukan? Mari kita coba!
Dengan metode
pertama, kita temukan ayat ke-2 dalam surah ke-13 sebagai berikut:
Allah-lah yang
meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia
bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing
beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya),
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan dengan
Tuhanmu. (QS. Ar-Ra’d [13]: 2)
Dengan membaca
kandungan ayat di atas, jelaslah bahwa musibah meletusnya Gunung Kelud (dan
kejadian-kejadian sesudahnya, termasuk hujan abu) semestinya mengingatkan kita
kepada kebesaran Allah s.w.t. Mungkin manusia selama ini sudah terlampau jauh
melupakan kuasa-Nya, sehingga Allah s.w.t menegur manusia dengan cara yang
tidak kita sangka-sangka.
Beralih kepada metode
kedua, kita cek ayat ke-49 dalam surah ke-22 sebagai berikut:
Katakanlah : “Hai
manusia, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan yang nyata kepada
kamu”. (QS. Al-Hajj [22]: 49)
Senada dengan ayat
sebelumnya, ternyata musibah seputar Gunung Kelud memang berfungsi sebagai
peringatan yang nyata bagi seluruh manusia. Di sini, Gunung Kelud seolah-olah
‘bekerja’ menyerupai Nabi Muhammad SAW Sebab, yang diperintahkan untuk angkat
bicara dan memberi peringatan kepada manusia dalam ayat di atas sesungguhnya
adalah Nabi Muhammad SAW Tapi analogi ini bolehlah kita terima.
Dengan menggunakan
kedua metode berdasarkan ilmu Cocoklogi di atas, memang nampaknya sangat pas.
Musibah meletusnya Gunung Kelud ini adalah sebuah peringatan bagi manusia yang
sudah melampaui batas. Saatnya kita bertaubat. Namun tidak ada salahnya kita
memberikan sejumlah pengujian kepada metode yang ‘masih bayi’ dan serba baru
ini.
Pertama
Kedua ayat di atas
sebenarnya berbicara tentang hal yang sangat umum. Kebesaran Allah SWT pada QS.
13:2 dan peringatan kepada manusia pada QS. 22:49 adalah hal yang umum yang
sebenarnya berlaku dalam segala kondisi. Karena itu, patutlah kita bertanya:
apa bedanya musibah yang satu ini dengan musibah yang lain? Mengapa harus
menunggu musibah pada tanggal 13 Februari pukul 22:49 WIB dulu baru kita
mengingat kebesaran Allah dan memperhatikan peringatan dari-Nya? Kalau musibah
terjadi pada tanggal lain dan jam lain, apakah kita tidak perlu melakukan hal
yang sama? Jika semua musibah semestinya mengingatkan kita pada kebesaran Allah
dan peringatan dari-Nya, maka apa istimewanya musibah kali ini?
Kedua
Dengan berpegang pada
kedua metode Cocokologi tadi, maka sebenarnya kita pun dapat menyimpulkan
adanya waktu-waktu saat musibah tak mungkin terjadi. Berdasarkan metode
pertama, musibah takkan terjadi pada setiap tanggal 1 Agustus, 1 September, 1
Oktober, 1 November dan 1 Desember. Sebab, tanggal-tanggal ini akan merujuk
pada ayat ke-8, 9, 10, 11 dan 12 dalam surah pertama. Padahal, semua orang tahu
bahwa Surah Al-Fatihah hanya tujuh ayat!
Berdasarkan metode
kedua, kita dapat simpulkan pula bahwa musibah takkan terjadi antara jam-jam
tertentu. Jam-jam ‘bebas musibah’ itu adalah pukul 00:00-00:59 (karena tak ada
surah ke-0), pukul 01:08-01:59 (karena surah ke-1 hanya sepanjang tujuh ayat),
dan pukul 14:53-14:59 (karena surah ke-14 hanya sepanjang lima puluh dua ayat).
Selain itu, dapat
pula kita simpulkan bahwa mulai dari surah ke-32 (As-Sajdah) hingga ke-114
(An-Naas) tidak dapat dimanfaatkan untuk mencari hikmah dari musibah apa pun.
Sebab, metode pertama maksimal hanya sampai surah ke-31 (Luqman), dan metode
kedua maksimal hanya sampai surah ke-23 (Al-Mu’minuun).
Ketiga
Dengan sedikit pengujian,
kita dapat melihat bahwa poin kedua di atas tidak terbukti benar. Sebab,
nyatanya ada juga musibah yang terjadi pada tanggal 1 Agustus. Misalnya, pada
tahun 2012, banjir besar terjadi di Ambon, mengakibatkan berbagai kerusakan
akibat banjir, longsor, dan juga menimbulkan korban jiwa dan sejumlah
masyarakat harus mengungsi. Dengan menggunakan metode pertama dalam ilmu
Cocokologi, maka musibah yang satu ini menjadi tak bermakna. Adapun metode
kedua tidak dapat digunakan, karena tidak mudah menetapkan jam dan menit ketika
banjir terjadi.
Pada tanggal 28
Januari 2014 yang lalu, terjadi bencana longsor di Jombang. Waktu kejadiannya
adalah pada pukul 01:30 WIB. Dengan menggunakan metode kedua, penafsiran akan
menemukan jalan buntu, karena tidak ada QS.1:30. Adapun dengan menggunakan
metode pertama, kita akan sampai pada ayat sebagai berikut:
Thaa Siin Miim. (QS.
Al-Qashash [28]:1)
Tentu saja penafsiran
ini pun problematis, sebab hingga detik ini tak ada yang dapat secara
meyakinkan memberikan pemaknaan terhadap ayat-ayat semacam ini. Ayat-ayat
seperti ini disebut sebagai ayat-ayat mutasyabihat, yaitu yang
maknanya tidak diketahui secara pasti. Untuk menafsirkan yang semacam ini, “Wallaahu
a’lam” adalah jawaban yang paling tepat.
Keempat
Kita perlu mengingat
juga bahwa ilmu Cocoklogi ini bergantung pada dua hal: kalender Gregorian dan
zona waktu. Kedua-duanya adalah hasil kesepakatan manusia. Belum lama ini
bahkan ada wacana untuk menyatukan seluruh wilayah Indonesia ke dalam satu zona
waktu. Artinya pula, jika ada kesepakatan lain, kita bisa saja membagi wilayah
Indonesia ini menjadi lima, enam atau tujuh zona waktu. Andaikan Zona WIB
terbagi dua, dan Gunung Kelud berada pada wilayah yang lebih di timur, maka
anggaplah ada perbedaan waktu setengah jam dengan wilayah yang di barat. Maka,
waktu kejadian tidak akan menjadi 22:49, melainkan 23:19.
Jika kita mengecek
ayat ke-19 dalam Surah ke-23, kita akan temukan ayat yang justru sama sekali
tidak berbicara tentang musibah. Dalam ayat ini, Allah berfirman :
Lalu dengan air itu,
Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun
itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebahagian dari buah-buahan itu
kamu makan. (QS. Al-Mu’minuun [23]: 19)
Kelima
Kita pun perlu
bersikap kritis. Siapakah ulama yang mendukung ilmu Cocokologi ini? Jika memang
ilmu ini sangat tepat untuk mengungkap hikmah di balik berbagai peristiwa,
mengapa ia hanya beredar melalui broadcast, e-mail, dan media
sosial? Mengapa tak ada nasihat resmi dari MUI, MIUMI, DDII, atau Ikadi yang
menggunakan ilmu ini?
Keenam dan Terakhir
Kita pun perlu
mewaspadai pengembangan dari ilmu Cocokologi ini. Jangan-jangan, kelak akan
digunakan pula untuk meramal masa depan anak. Tanggal dan waktu kelahiran anak
dicocok-cocokkan dengan Al-Qur’an untuk meramal pekerjaan yang tepat baginya,
atau semacamnya. Atau tanggal dan waktu kelahiran dicocok-cocokkan dengan calon
suami atau istri, untuk mengetahui cocok-tidaknya mereka untuk menjadi pasangan
sehidup-semati.
Betapa tipis jarak
antara iman dan syirik.