Sunday, 26 April 2015

COCOKOLOGI


Ini adalah cabang ilmu baru. Dengan menggunakan ilmu ini, maka segala hal bisa dicocok-cocokkan dengan Al-Qur’an, sumber hukum paling utama dalam ajaran Islam. Dimulai dari musibah.

Mengapa harus mulai dari musibah? Ya, karena musibah adalah suatu hal yang dapat dengan mudah menyentuh hati manusia. Selain itu, musibah juga secara otomatis mengingatkan manusia kepada Sang Pencipta. Bahkan orang ateis pun – konon – ketika berada dalam situasi genting, akan kelepasan ngomong “Ya Tuhan!” Kalau seorang ateis pun bisa begitu, apalagi rakyat Indonesia yang dikenal sangat religius ini.


Meletusnya Gunung Kelud beberapa waktu yang lalu jelas membuat semua orang kaget. Letusannya pun tak tanggung-tanggung. Angin yang bertiup ke arah Barat menyapu Yogyakarta, Solo dan sekitarnya dengan abu vulkanik. Beberapa bandara terpaksa ditutup karena tak ada pilot waras yang mau menerbangkan pesawatnya di tengah hujan abu vulkanik yang demikian dahsyat.

Marilah kita mulai mencocokkan. Meletusnya Gunung Kelud terjadi pada tanggal 13 Februari 2014 sekitar pukul 22:49 WIB. Data inilah yang akan jadi landasan berpijak kita.

Paling tidak, ada dua metode yang lazim digunakan dalam ilmu Cocokologi ini. Pertama, cocokkan hari dan bulan kejadian dengan surah dan ayat dalam Al-Qur’an. Kedua, cocokkan jam dan menit kejadian dengan surah dan ayat dalam Al-Qur’an. Mudah, bukan? Mari kita coba!

Dengan metode pertama, kita temukan ayat ke-2 dalam surah ke-13 sebagai berikut:

Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu. (QS. Ar-Ra’d [13]: 2)

Dengan membaca kandungan ayat di atas, jelaslah bahwa musibah meletusnya Gunung Kelud (dan kejadian-kejadian sesudahnya, termasuk hujan abu) semestinya mengingatkan kita kepada kebesaran Allah s.w.t. Mungkin manusia selama ini sudah terlampau jauh melupakan kuasa-Nya, sehingga Allah s.w.t menegur manusia dengan cara yang tidak kita sangka-sangka.

Beralih kepada metode kedua, kita cek ayat ke-49 dalam surah ke-22 sebagai berikut:

Katakanlah : “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan yang nyata kepada kamu”. (QS. Al-Hajj [22]: 49)

Senada dengan ayat sebelumnya, ternyata musibah seputar Gunung Kelud memang berfungsi sebagai peringatan yang nyata bagi seluruh manusia. Di sini, Gunung Kelud seolah-olah ‘bekerja’ menyerupai Nabi Muhammad SAW Sebab, yang diperintahkan untuk angkat bicara dan memberi peringatan kepada manusia dalam ayat di atas sesungguhnya adalah Nabi Muhammad SAW Tapi analogi ini bolehlah kita terima.

Dengan menggunakan kedua metode berdasarkan ilmu Cocoklogi di atas, memang nampaknya sangat pas. Musibah meletusnya Gunung Kelud ini adalah sebuah peringatan bagi manusia yang sudah melampaui batas. Saatnya kita bertaubat. Namun tidak ada salahnya kita memberikan sejumlah pengujian kepada metode yang ‘masih bayi’ dan serba baru ini.

Pertama
Kedua ayat di atas sebenarnya berbicara tentang hal yang sangat umum. Kebesaran Allah SWT pada QS. 13:2 dan peringatan kepada manusia pada QS. 22:49 adalah hal yang umum yang sebenarnya berlaku dalam segala kondisi. Karena itu, patutlah kita bertanya: apa bedanya musibah yang satu ini dengan musibah yang lain? Mengapa harus menunggu musibah pada tanggal 13 Februari pukul 22:49 WIB dulu baru kita mengingat kebesaran Allah dan memperhatikan peringatan dari-Nya? Kalau musibah terjadi pada tanggal lain dan jam lain, apakah kita tidak perlu melakukan hal yang sama? Jika semua musibah semestinya mengingatkan kita pada kebesaran Allah dan peringatan dari-Nya, maka apa istimewanya musibah kali ini?

Kedua
Dengan berpegang pada kedua metode Cocokologi tadi, maka sebenarnya kita pun dapat menyimpulkan adanya waktu-waktu saat musibah tak mungkin terjadi. Berdasarkan metode pertama, musibah takkan terjadi pada setiap tanggal 1 Agustus, 1 September, 1 Oktober, 1 November dan 1 Desember. Sebab, tanggal-tanggal ini akan merujuk pada ayat ke-8, 9, 10, 11 dan 12 dalam surah pertama. Padahal, semua orang tahu bahwa Surah Al-Fatihah hanya tujuh ayat!

Berdasarkan metode kedua, kita dapat simpulkan pula bahwa musibah takkan terjadi antara jam-jam tertentu. Jam-jam ‘bebas musibah’ itu adalah pukul 00:00-00:59 (karena tak ada surah ke-0), pukul 01:08-01:59 (karena surah ke-1 hanya sepanjang tujuh ayat), dan pukul 14:53-14:59 (karena surah ke-14 hanya sepanjang lima puluh dua ayat).

Selain itu, dapat pula kita simpulkan bahwa mulai dari surah ke-32 (As-Sajdah) hingga ke-114 (An-Naas) tidak dapat dimanfaatkan untuk mencari hikmah dari musibah apa pun. Sebab, metode pertama maksimal hanya sampai surah ke-31 (Luqman), dan metode kedua maksimal hanya sampai surah ke-23 (Al-Mu’minuun).

Ketiga
Dengan sedikit pengujian, kita dapat melihat bahwa poin kedua di atas tidak terbukti benar. Sebab, nyatanya ada juga musibah yang terjadi pada tanggal 1 Agustus. Misalnya, pada tahun 2012, banjir besar terjadi di Ambon, mengakibatkan berbagai kerusakan akibat banjir, longsor, dan juga menimbulkan korban jiwa dan sejumlah masyarakat harus mengungsi. Dengan menggunakan metode pertama dalam ilmu Cocokologi, maka musibah yang satu ini menjadi tak bermakna. Adapun metode kedua tidak dapat digunakan, karena tidak mudah menetapkan jam dan menit ketika banjir terjadi.

Pada tanggal 28 Januari 2014 yang lalu, terjadi bencana longsor di Jombang. Waktu kejadiannya adalah pada pukul 01:30 WIB. Dengan menggunakan metode kedua, penafsiran akan menemukan jalan buntu, karena tidak ada QS.1:30. Adapun dengan menggunakan metode pertama, kita akan sampai pada ayat sebagai berikut:

Thaa Siin Miim. (QS. Al-Qashash [28]:1)

Tentu saja penafsiran ini pun problematis, sebab hingga detik ini tak ada yang dapat secara meyakinkan memberikan pemaknaan terhadap ayat-ayat semacam ini. Ayat-ayat seperti ini disebut sebagai ayat-ayat mutasyabihat, yaitu yang maknanya tidak diketahui secara pasti. Untuk menafsirkan yang semacam ini, “Wallaahu a’lam” adalah jawaban yang paling tepat.

Keempat
Kita perlu mengingat juga bahwa ilmu Cocoklogi ini bergantung pada dua hal: kalender Gregorian dan zona waktu. Kedua-duanya adalah hasil kesepakatan manusia. Belum lama ini bahkan ada wacana untuk menyatukan seluruh wilayah Indonesia ke dalam satu zona waktu. Artinya pula, jika ada kesepakatan lain, kita bisa saja membagi wilayah Indonesia ini menjadi lima, enam atau tujuh zona waktu. Andaikan Zona WIB terbagi dua, dan Gunung Kelud berada pada wilayah yang lebih di timur, maka anggaplah ada perbedaan waktu setengah jam dengan wilayah yang di barat. Maka, waktu kejadian tidak akan menjadi 22:49, melainkan 23:19.

Jika kita mengecek ayat ke-19 dalam Surah ke-23, kita akan temukan ayat yang justru sama sekali tidak berbicara tentang musibah. Dalam ayat ini, Allah berfirman :

Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan. (QS. Al-Mu’minuun [23]: 19)

Kelima
Kita pun perlu bersikap kritis. Siapakah ulama yang mendukung ilmu Cocokologi ini? Jika memang ilmu ini sangat tepat untuk mengungkap hikmah di balik berbagai peristiwa, mengapa ia hanya beredar melalui broadcast, e-mail, dan media sosial? Mengapa tak ada nasihat resmi dari MUI, MIUMI, DDII, atau Ikadi yang menggunakan ilmu ini?

Keenam dan Terakhir
Kita pun perlu mewaspadai pengembangan dari ilmu Cocokologi ini. Jangan-jangan, kelak akan digunakan pula untuk meramal masa depan anak. Tanggal dan waktu kelahiran anak dicocok-cocokkan dengan Al-Qur’an untuk meramal pekerjaan yang tepat baginya, atau semacamnya. Atau tanggal dan waktu kelahiran dicocok-cocokkan dengan calon suami atau istri, untuk mengetahui cocok-tidaknya mereka untuk menjadi pasangan sehidup-semati.

Betapa tipis jarak antara iman dan syirik.