(Prof Dr H Imam Muchlas dan Masyhud SM, Al-Qur’an
Berbicara tentang Kristen, Pustaka Dai, cet. I, September 1999, hlm.
171-180)
Para penafsir
Al-Qur’an berbeda pendapat mengenai kematian Isa. Ada yang mengatakan, ia sudah
meninggal. Ada pula yang berpandangan bahwa Isa masih hidup atau belum mati,
Pendapat yang mengatakan dia sudah meninggal berdasarkan ayat Al-Qur’an yang
berbunyi:
“(Ingatlah),
ketika Allah berfirman: Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada
akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari
orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas
orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah
kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu
berselisih padanya” (Qs. Ali Imran 55).
“...Maka setelah
Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau
adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” (Qs.
Al-Ma‘idah 117).
Dalam Al-Qur’an
surat An-Nisa‘ 159 disebutkan:
“Tidak ada seorang
pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.
Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka” (Qs. An‑Nisa‘ 159).
Beberapa ahli
tafsir menerangkan bahwa dhamir “hi” di dalam kata “qabla
mautihi” (sebelum matinya) ialah sebelum Isa Almasih wafat.
Di dalam surat Ali
Imran Allah berfirman:
“Muhammad itu
tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad)?...” (Qs. Ali Imran 144).
Menurut para ahli
tafsir yang berpandangan bahwa Yesus sudah meninggal, kalimat “ telah
berlalu sebelum Nabi Muhammad beberapa orang rasul” baik wafat karena sakit
atau terbunuh menunjukkan bahwa semuanya telah meninggal dunia, tidak ada
kecualinya, termasuk Nabi Isa (Yesus).
Sebagian ahli
tafsir berpendapat, kata “tawaffa” atau “mutawaffika” atau “tawaffaitani” dalam
Al-Qur‘an surat Al-Ma‘idah 117 dan Ali Imran 55 bermakna bahwa Allah mengambil
roh dan jasad Nabi Isa bersama‑sama untuk diangkat ke langit. Mereka
mengartikan kata “mutawaffiika” atau “tawaffa” tersebut dengan arti “akhadza wa
qabadha” (memanggil dari memegang). Mereka yang memilih pengertian seperti ini
antara lain Al‑Baidhawi, Syaikh Thanthawi, Ibnu Katsir dan Ibnu Jarir Ath‑Thabari.
Kebanyakan dari mereka, mengambil riwayat dari Ibnu Juraij.
Sedangkan beberapa
ahli tafsir di bawah ini memberikan arti yang berbeda dengan pengertian di
atas:
1. Ibnu Abbas
menafsirkan lafal “mutawaffiika” itu sama dengan “mumiituka” yang artinya
“mematikan engkau (Isa)”.
2. Al‑Alusi dalam
tafsirnya “Ruhul Ma’ani” menafsirkan “mutawaffiika” dengan “tawaffa ajaluhu”
artinya telah sempurna ajalnya atau mati secara wajar.
3. Az‑Zamakhsyari
dalam tafsirnya “Al‑Kasysyaf” menerangkan lafal tersebut dengan arti Allah
mematikan Isa bukan karena makar orang‑orang Yahudi.
4. Al‑Baidhawi
mencatat beberapa arti dari lafal tersebut antara lain (arti keenam):
“mengambil sesuatu menjadi lengkap atau sempurna.
5. Syaikh Muhammad
Abduh menafsirkan lafal “mutawaffiika” itu sesuai dengan arti lafal dalam surat
Az‑Zumar 42, bahwa Tuhan mengambil jiwa orang yang mati, dan seperti arti lafal
tersebut dalam surat As‑Sajdah 11 bahwa malaikat maut mengambil nyawamu. Jadi
artinya Nabi Isa itu wafat seperti biasa atau mati secara wajar.
6. Prof Dr. Mahmud
Syalthut menafsirkan lafal “mutawaffiika” itu ialah menyempurnakan ajal Nabi
Isa dan menjaga dia dari kejahatan yang mereka rencanakan, serta mematikannya
secara wajar, tidak disalib atau bukan karena hukuman mati, tetapi meninggal
dunia seperti manusia biasa mati. Jadi yang diambil Tuhan hanya rohnya.
7. Prof Dr. Ahmad
Syalaby memilih pendapat Dr. Mahmud Syalthut dengan mengatakan: “Demikianlah
pendapat yang mu’tabar dan diterima oleh jumhur kaum muslimin.”
Adapun argumen
bagi yang berpendapat bahwa Nabi Isa masih hidup adalah seperti disinggung di
muka sebagai berikut:
Pertama, Firman Allah dalam Al-Qur‘an yang berbunyi:
“Dan karena ucapan
mereka: Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul
Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi
(yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa,
benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak
mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu
adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.
Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. An-Nisa‘ 157-158).
Kata “maa
qataluuhu” (mereka tidak membunuhnya) merupakan kata yang bersifat umum,
maksudnya, mereka tidak membunuhnya dengan cara apa pun. Lalu disusul dengan
katakata ‘maa shalabuubu” (mereka tidak menyalibnya) merupakan kata yang
bersifat khusus, maksudnya, mereka tidak membunuh Isa dengan cara menyalibnya,
juga bermakna mereka sama sekali tidak menyalib Isa. Kemudian dilanjutkan dengan
kata “bal rafa’ahullahu ilaih” (tetapi Allah mengangkatnya kepada-Nya) yang
berarti Nabi Isa diangkat oleh Allah untuk diselamatkan dari konspirasi
pembunuhan.
Kedua, firman Allah yang berbunyi:
“Orang-orang kafir
itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah
sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ingatlah), ketika Allah berfirman: Hai Isa,
sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu
kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir, dan menjadikan
orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari
kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu
tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya”(Qs. Ali Imran 54‑55).
Dalam “Qamus
Al-Qur’an Mu’jam Alfadhil Qur’anil Karim” disebutkan, “waffas-syai’a”:
sempurna, tidak kurang sedikit pun. “Waffa haqqahu”: dia menyerahkan kepadanya
secara sempurna. “Waffa bis-syai’i”: membawanya dengan sempurna. “Tawaffaahu”:
dia mengambilnya secara sempurna. “Mutawaffika”: cukup masamu di bumi.(1)
Dari pengertian
ini, maka makna lafal “mutawaffiika” ialah mencukupkan masamu sekarang hidup di
bumi, bukan mati.
Syaikh Ibnu
Taimiyah mengatakan, kata “tawaffa” berarti “istifaa’u wal-qabdhu” yang mempunyai
tiga makna: menidurkan, mematikan, mengambil ruh dan tubuhnya. Dengan demikian
bermakna keluar dari keadaan dan sifat penghuni bumi seperti membutuhkan makan,
minum dan pakaian, tidak berak dan tidak kencing. Dan Almasih Isa Ibnu Maryam
“ditempatkan” Allah di langit kedua, dalam keadaan tidak seperti penghuni bumi
yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tidur, berak dan kencing. Menjelang hari akhir nanti dia turun ke bumi. (2)
Ada pula yang
berpendapat makna, “al‑wafaatu” dalam Al-Qur‘an itu ada tiga:
1. Mati
“Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya” (Qs. Az‑Zumar
42).
2. Menidurkan
“Dan Dialah
yang menidurkan kamu di malam hari” (Qs.
Al-An’am 60).
3. Mengangkat
“Maka
setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka” (Qs. Az‑Zumar 42).(3)
Arti secara bahasa
ini sesuai dengan isyarat ayat Al-Qur’an lainnya dan hadits‑hadits shahih yang
akan dibahas nanti.
“Aku tidak pernah
mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku
(mengatakannya) yaitu: Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabbmu, dan adalah aku
menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku,
Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas
segala sesuatu” (Al-Ma‘idah 117).
Dalam Mu’jamu
Alfadhil-Qur’anil Karim, lafal “tawaffaitani” artinya Engkau ambil diriku
dengan mengangkatku ke langit, atau Engkau cukupkan masa hidupku di bumi.
Imam Asy‑Syaukani
menyatakan, yang berpendapat jika ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah
mewafatkan sebelum mengangkatnya ke langit, tidak beralasan. Sebab banyak
sekali hadits‑hadits yang memberitakan bahwa Nabi Isa belum mati, dan dia hidup
di langit, yang pada akhir zaman nanti dia turun ke bumi.
Bukti yang
menguatkan bahwa Isa Almasih belum mati adalah Al-Qur‘an surat An‑Nisa’ yang
berbunyi:
“Tidak ada seorang
pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.
Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka” (Qs. An‑Nisa‘ 159).
Kenyataan yang ada
sampai sekarang, orang‑orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) belum beriman
seluruhnya kepada Nabi Isa. Peristiwa penyaliban yang diyakini oleh Yahudi dan
Nasrani merupakan bukti lain, bahwa mereka belum mengetahui ajarannya yang
benar.
Abdul Qadir Hasan
menjelaskan, surat An‑Nisa’ 159 diturunkan kepada Nabi Muhammad, kurang lebih
600 tahun setelah Nabi Isa tidak ada di dunia. Lafal yang dipakai Allah dalam
surat An-Nisa 159 itu adalah “layu’minanna bihi” (sungguh akan beriman
kepadanya) adalah fi’il mudhari’ (present and future tenses), yaitu kata yang
menunjukkan kepada masa yang akan datang. Maka firman Allah: “...melainkan akan
beriman kepadanya sebelum matinya,” menunjukkan Nabi Isa belum mati dan nanti
akan turun ke bumi atas kehendak dan kuasa Allah.(4)
Begitu pula dengan
firman Allah yang berbunyi:
“Dan dia berbicara
dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara
orang-orang yang shaleh” (Qs. Ali Imran
46).
Dalam Mu’jam
Alfadhil Qur’anil Karim disebutkan, kata “al-kahlu” artinya orang yang
usianya melawi 30 tahun hingga mencapai usia 50 tahun dan sudah beruban, atau
orang yang sudah melewati masa remaja belum mencapai usia kakek, yaitu orang
yang berusia antara 30 tahun dan sekitar 60 tahun.
Abdul Qadir Hasan
menjelaskan, yang menunjukkan Nabi Isa akan turun ialah kata “kahlan”. Kata
“kahl” artinya tua yang umurnya lebih dari 30 tahun dan beruban. Dalam hadits
riwayat Ahmad dan Abu Daud 2:214 dengan sanad yang sah, Nabi SAW bersabda:
“...dan ia (Nabi
Isa) akan turun lalu ia akan tinggal di bumi 40 tahun...”.
Maka kata “al‑kahlu”
ini tertuju kepada masa tiga puluh tahun di waktu Nabi Isa di bumi dan 40 tahun
di masa beliau turun kembali ke dunia.(5)
Jadi surat Ali
Imran 46 yang tersebut di muka juga memberi isyarat bahwa Nabi Isa belum wafat
dan akan turun ke bumi sampai mencapai usia “al‑kahlu” itu.
Bukti lain adalah
firman Allah dalam surat Az‑Zukhruf:
“Dan sesungguhnya
Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat. Karena itu
janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang
lurus” (Qs. Az‑Zukhruf 61).
Ayat ini memberi
isyarat bahwa Nabi Isa akan turun. Dalam hadits juga disebutkan bahwa salah
satu tanda hari kiamat adalah dia turun ke dunia ini.
Dari tiga ayat
Al-Qur`an tadi, mereka “menolak” anggapan yang menyatakan bahwa hanya hadits
saja yang menerangkan turunnya Nabi Isa tanpa didukung dalil Al-Qur`an. Adapun
hadits yang menerangkan turunnya Nabi ini jumlahnya banyak sekali. Yang
meriwayatkan hadits ini tidak kurang dari 29 shahabat Nabi SAW.
Sedangkan yang
meriwayatkan dan mencatat dalam kitabnya tidak kurang dari 26 orang imam hadits
mencakup shahibu Kutubit-Tis’ah.
Melihat banyaknya
sahabat Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan hadits‑hadits turunnya Nabi Isa,
dan banyaknya imam‑imam hadits yang meriwayatkannya dan mencatat dalam kitab
mereka, tidaklah dapat ditolak kemutawatiran hadits‑hadits itu, sedikitnya
secara ma’nawi.
Dengan demikian
tertolaklah pendapat yang mengatakan bahwa dalil turunnya Nabi Isa hanya berdasarkan
hadits Ahad, bertentangan dengan ayat‑ayat Al-Qur`an, dan hanya bersumber dari
dua shahabat saja.
Di antara hadits
turunnya Nabi Isa yang dapat dikategorikan sebagai haditsmutawatir ma’nawi adalah:
”Rasulullah saw.
bersabda: “Demi Allah yang diriku dalam pemeliharaan‑Nya! Sungguh akan turun di
tengah kamu Ibnu Maryam (Isa) sebagai hakim yang adil, lalu dia menghancurkan
salib, membunuh babi, menghapus pajak, dan akan berlimpah harta sampai tidak
ada orang yang akan menerimanya” (HR. Bukhari
dan Muslim)
“Rasulullah SAW
bersabda: “... dan sesungguhnya dia (Isa) akan turun... lalu dia akan tinggal
di bumi 40 tahun...” (HR Ahmad dan Abu Daud)
Kita mengimani
tentang kenaikan Nabi Isa dan turun kembali ke bumi, seperti kita mengimani
kisah yang disampaikan oleh Al-Qur`an tentang peristiwa Ashabul Kahfi
ditidurkan oleh Allah di gua selama 300 tahun bila dihitung menurut perjalanan
bumi mengitari matahari atau disebut tahun Syamsiyah, Miladiyah atau Masihiyah
–dan 309 tahun bila dihitung menurut perhitungan peredaran bulan mengelilingi
bumi atau tahun Qamariyah atau Hijriah. Sebagaimana yang disebutkan oleh
Al-Qur`an surat Al‑Kahfi ayat 25.
Demikianlah
pendapat yang meyakini bahwa Nabi Isa masih hidup, dan menjelang hari akhir
nanti dia turun ke bumi.
(1) Majma'ul
Lughah, Mu’jam Alfaadhil-Qur'anil Karim, Al-Haiatul Mishriyatul
‘Ammatu lit-Ta’liifi wan-Nasyri, jilid Islam, 1390 H/1970 M hal. 869.
(2)Ibnu Taimiyah, Al-Jawabus
Shahih Liman Baddala Dinal Masih, Mathba'atul Madani, Kairo, tt. hal. 284.
(4) Abdul Qadir Hasan, Kata Berjawab, jilid
VI, Al-Muslimun, Bangil, 1983, hal. 184.
(5) Abdul Qadir Hasan, Kata Berjawab, jilid
VI, Al-Muslimun, Bangil, 1983, hal. 183-184.