Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi
(al-ghina’ /at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian
lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut
sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad
al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam
kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi
al-Ghina’ wa Tahrim Istima’.
Lagu (Musik.http://www.ashifnet.tripod.com) /juga oleh Dr. Abdurrahman
Al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal.
27-38), dan Syaikh Muhammad Asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash Wa
Ikhtilaf An-Nas (hal. 97-101):
Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian
A. Berdasarkan Firman Allah
Dan di antara manusia ada
orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal
hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang
menghinakan.‖ (Qs. Luqmân [31]: 6).
Beberapa ulama menafsirkan
maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di
antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian
adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isra’ [17]: 64(Abi Bakar
Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik
Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
B. Hadits Abu Malik Al-Asy‘Ari Ra,
Bahwa Rasulullah SAW Bersabda
Sesungguhnya akan ada di
kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak,
dan alat-alat musik (al-ma’azif). [HR.
Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
C. Hadits Aisyah Ra Rasulullah SAW
Bersabda
Sesungguhnya Allah
mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan
menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya. Kemudian
beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunyad an Ibnu
Mardawaih].
D. Hadits Dari Ibnu Mas‘Ud RA
Rasulullah SAW Bersabda :
Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan
kembang. [HR. Ibnu Abi Dunyadan al-Baihaqi, hadits mauquf].
E. Hadits dari Abu Umamah RA
Rasulullah Saw bersabda :
Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan
yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si
penyanyi sampai dia berhenti. [HR.
Ibnu Abid Dunya].
F. Hadits yang Diriwayatkan
Oleh Ibnu ‘Auf RA
Bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu:
1.
Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling
syaitan (mazamirus syaithan).
2.
Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya
sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).
Dalil-Dalil yang Menghalalkan Nyanyian
A. Firman Allah SWT
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
B. Hadits dari Nafi‘ RA
Katanya: Aku berjalan
bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling,
maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata;
Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu? sampai aku
menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; Demikianlah yang
dilakukan Rasulullah Saw. [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
C. Ruba‘i Binti Mu‘awwidz Bin Afra
Ruba‘i Binti Mu‘awwidz Bin
Afra berkata : Nabi SAW mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di
atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba
perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang
mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka
berkata: Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Maka
Nabi Saw bersabda:
Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan)
tadi.‖ [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari
Aisyah ra].
D. Dari Aisyah RA
Dia pernah menikahkan
seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda :
Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada
permainan. [HR. Bukhari]
E. Dari Abu Hurairah RA
Sesungguhnya Umar melewati
shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan sya‘ir di masjid. Maka Umar
memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata: Aku pernah bersya’ir di
masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu
Rasulullah SAW) [HR.
Muslim, juz II, hal. 485].
Dengan menelaah dalil-dalil
tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya
kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita
perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan
ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang
nampak bertentangan itu.
Imam
asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits
shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang
ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya
berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global
(ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi
jika terjadi nasakh(penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai
nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm
al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua
kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat
adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah
satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan
diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada
melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Dalam hal ini Syaikh
Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih: Al-‘amal bi
ad-dalilaini—walaw min wajhin—awlâ min ihmali ahadihima Mengamalkan dua
dalil walaupun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada
meninggalkan salah satunya. (Syaikh Dr. Muhammad Husain
Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu
dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk
ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhanimenyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal―Pada dasarnya dalil itu adalah untuk
diamalkan, bukan untuk ditanggalkan. (Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil
yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut :
bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang
dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian
(takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa
tertentu yang dibolehkan syara‘, seperti pada hari raya. Atau dapat
pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian
secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian
secaramu qayyad(ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64;Syaikh. Muhammad
asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat
memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian
haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu
nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa
perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai
khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita),
atau syairnya yang bertentangan dengan syara‘, misalnya mengajak pacaran,
mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme,
nasionalisme, dan sebagainya.
Nyanyian
halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang
kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya
nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani
Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan
keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni
Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad
asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
Hukum Mendengarkan Nyanyian
A. Hukum Mendengarkan Nyanyian
(Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat
disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara
melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’
al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukumaf -‘âl (perbuatan)
yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara‘ (at-taqayyud bi
al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukumaf -‘âl
jibiliyah, yang hukum asalnya mubah.Af -‘âl jibiliyyahadalah
perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia,
seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan,
makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepadaaf -‘âl jibiliyyah ini hukum
asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan.
Kaidah syariah menetapkan:
ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram. Jika tidak
terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah
(Dr.Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
B. Mendengarkan Musik Di Radio, TV,
dan Lainnya
Dan Semisalnya :
Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal.
74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf
an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan
semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan music secara langsung sepereti
show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah),
bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan
pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan
semisalnya yaitu mubah. Kaidah syar‘iyah mengenai hukum asal pemanfaatan
benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah malam yarid dalilu at-tahrim.
Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang
mengharamkannya.(Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun
asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan
mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban.
Kaidah syar‘iyah menetapkan :
Al-wasilah ila al-haram haram. Segala sesuatu perantaraan kepada
yang haram, hukumnya haram juga. (Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
Pedoman Umum Nyanyian dan Musik Islami
Setelah menerangkan
berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum
tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan
operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan
musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran,
seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harusdiislamisasikan,
hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi
2. Instrumen (alat musik)
3. Sya‘ir dalam bait lagu
4. Waktu dan Tempat
Berikut Sekilas Uraiannya:
1. Musisi/Penyanyi
a. Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik
(khayr/ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman.
Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat
Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran,
menentang kezaliman penguasa sekuler.
b. Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru
orang kafir dalam masalah yang bersangkut paut dengan sifat khas
kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya,
mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c. Tidak menyalahi ketentuan syara‘, seperti
wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan,
bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau
asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris
pria. Ini semua haram.
2. Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan
instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang
mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a. Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya.
Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b. Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik
atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung
maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3. Sya’ir
Berisi:
a. Amar ma’ruf (menuntut
keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi
munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya).
b. Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c. Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d. Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e. Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah
Islam.
Tidak berisi:
a. Amar munkar (mengajak
pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b. Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur‘an.
c. Berisi bius yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba
Allah.
d. Ungkapan yang tercela menurut syara‘ (porno, tak tahu malu, dan
sebagainya).
e. Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4. Waktu Dan Tempat
a. Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti
pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan
sebagainya.
b. Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c. Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun
tempat).
d. Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh
ikhtilat (campur baur).
No comments:
New comments are not allowed.