“Dan barang siapa mengerjakan
amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia itu mukmin, maka
mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizhalimi sedikit pun”[1]
Sesungguhnya peran muslimah dalam
kancah jihad, sangatlah banyak dan terbuka lebar. Mereka memiliki peran yang
sangat penting dan jelas, yang mana tidak mungkin terhapus oleh zaman
selamanya. Sejarah telah mencatatnya, sedangkan sejarah itu akan terus berulang
meski tokoh dan tempatnya berganti.
Dalam hadis shohih dari Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dari Ruba’i binti Muawwidz radliyallahu ‘anha,
beliau berkata, “Kami berperang bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, kami
memberi minum para prajurit dan membantu mereka, mengembalikan yang terluka dan
terbunuh ke Madinah”.[2]
Sungguh tak dapat dipungkiri,
keberanian seorang mujahid di lapangan maka ada seorang wanita ‘di
belakang’nya. Jika ada seorang mujahid yang gagah berani, maka lihatlah siapa
ibunya, atau lihatlah siapa istrinya, sungguh kan kita temui muslimah-muslimah yang
tangguh di dalamnya. Muslimah ini memberi motivasi pada ayah, suami, saudara
laki-laki dan anak-anak laki-lakinya agar pergi berjihad, menunjukkan pembelaan
kepada dienullah dan pengorbanan diri untuk Allah. Ia memotivasi dengan
memberikan semangat untuk mereka, memotivasi dengan menyumbangkan harta untuk
mereka dalam rangka jihad fie sabilillah, memotivasi dengan tidak mengeluh saat
ditinggal, memotivasi dengan tetap sabar atas kepergian mereka dan ujian yang
menimpa mereka. Sungguh, inilah tugas muslimah dalam kancah jihad baik dari
dulu maupun sekarang.
Akan tetapi kita lihat pada masa
sekarang, tak sedikit muslimah yang masih ragu untuk ikut serta dalam kancah
jihad ini. Tak sedikit kita melihat, mereka masih menahan suami dan anak
laki-laki mereka untuk ikut serta dalam jihad fie sabilillah. Merasa tak
sanggup ditinggal. Apa yang meragukanmu duhai ukhity? Apakah kita kehilangan
teladan yang mampu memberikan contoh? Demi Allah, keteladanan itu banyak ya
Ukhtiy, jika kita mau mencari serta meneladani mereka.
Saya ingatkan untuk diri saya dan
antunna sekalian akan kisah-kisah kepahlawanan shohabiyah yang beriman,
berhijrah dan berjihad fie sabilillah dalam tulisan ini, juga kisah
kepahlawanan muslimah dalam medan jihad di zaman kita sekarang. Dengannya, bi
idznillah, semoga dapat memotivasi kita untuk bisa seperti mereka dan
menjadikan hati kita tergerak untuk ikut andil bagian pada pembelaan terhadap
dien Allah dalam peperangan sengit yang dilancarkan salibis dan zionis ini.
Adapun peran yang dapat kita
lakukan dalam kancah jihad ini, di antaranya adalah :
1. Memotivasi
Ayah, Saudara Laki-Laki, Suami dan Anak Laki-Laki Kita Untuk Jihad Fie
Sabilillah dan Bersabar atas Ujian yang Menimpa Kita
Adalah kewajiban kita—wahai
ukhtiy muslimah—untuk senantiasa memotivasi mereka untuk berpartisipasi dalam
jihad ini, di mana jihad telah menjadi fardhu ‘ain dalam kondisi saat ini[3].
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “…kobarkanlah (semangat) orang-orang
beriman (untuk berperang)…”[4]. Dan, “Wahai Nabi! Kobarkanlah semangat para
mukmin untuk berperang…”[5]
Sebagai anak, kita harus
memotivasi ayah kita dan saudara laki-laki kita untuk turut serta dalam jihad
fie sabilillah ini. Dan sebagai seorang istri juga seorang ibu, sudah
selayaknyalah kita memotivasi suami dan anak laki-laki kita untuk turut andil
dalam perjuangan fie sabilillah, untuk turut ambil bagian dalam pengorbanan di
jalan Allah. Dan sungguh, telah banyak dari orang-orang sebelum kita yang telah
menjadi contoh dalam pengorbanan ini…
Lihatlah bagaimana seorang
Khadijah binti Khuwailidy radliyallahu ‘anha senantiasa memotivasi
suaminya—Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sang panglima perang—dalam
mendakwahkan dan menyebarkan Islam. Ketabahan beliau radhliyallahu ‘anha dalam
mendampingi suaminya di jalan tauhid wal jihad, baik dalam keadaan susah maupun
senang, dalam keadaan sempit maupun lapang, adalah teladan yang sangat
mengagumkan. Beliau dengan mantap menghibur Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam dengan perkataan yang akan terus dikenang sejarah, “Demi Alloh, Alloh
tidak akan menghinakan Anda selamanya. Sesungguhnya Anda menyambung hubungan
kerabat, jujur dalam berbicara, menanggung letih dan menolong yang tertimpa
musibah”.
Dan teladan itu pun telah ada
pada diri Al Khansa’—ibu para syuhada’—radliyallahu ‘anha, yang sedikit pun tak
ragu memotivasi keempat anak laki-lakinya agar ikut berperang dan agar tidak
lari dari medan perang. Tidak ragu untuk menjadikan anak-anaknya bagian dari
kafilah mujahideen sekaligus kafilah syuhada’. Beliau radliyallahu ‘anha
merupakan cermin pengorbanan seorang ibu, teladan bagi para ibu sepanjang
zaman. Duhai, betapa mulianya shohabiyah ini dan pengorbanannya untuk dien
Islam…
Maka, ketika kabar kesyahidan
anaknya sampai kepada ibu yang beriman dan bersabar ini, ia sama sekali tak
meratap juga tak menunjukkan sikap sedih. Tahukah apa yang ia katakan?
“Segala puji bagi Allah yang
telah memuliakanku dengan kesyahidan mereka. Saya mengharap pahala dari
Rabb-ku. Semoga Ia mengumpulkan saya bersama mereka di tempat yang penuh kasih
sayangNya (jannah)”. Perkataan yang didasari keimanan yang tangguh, yang akan
terus diingat oleh sejarah sebagai sebuah pengorbanan di jalan Allah.
Subhanallah!! Beginilah
seharusnya seorang ibu, dengan senang hati menyerahkan buah hatinya di jalan
Allah, berharap pahala dariNya dan jannahNya. Maka, ukhtiy fillah…tidakkah hati
kita tergerak untuk meneladani para shohabiyah ini?
Kita pun tak melupakan kisah
shohibatus syakkal, seorag ibu yang memberikan sebuah ikalan rambut miliknya
kepada Abu Qudamah Asy Syama’ rahimahullah, yang ia harapkan dapat ikut serta
dalam jihad dan berdebu fie sabilillah bersamanya. Tak lupa, ia pun memotivasi
anak laki-lakinya untuk turut serta dalam peperangan bersama Abu Qudama Asy
Syama. Dan tahukah ukhtiy, apa yang beliau ucapkan saat Abu Qudamah hendak
memberitahukan berita kesyahidan anaknya?
“Jikalau anakku pulang bersamamu
dalam keadaan selamat, maka itu kabar menyedihkan bagiku. Dan jikalau anakku
terbunuh fie sabilillah (syahid) berarti anda membawa kabar gembira”.
Subhanallah…!! Kalimat yang mantap yang berasal dari keimanan yang dalam dan
keyakinan yang kuat akan janji Allah.
Dan ketika diberitahukan bahwa
anaknya terbunuh fie sabilillah, maka beliau pun menjawab, “Segala puji bagi
Allah yang telah menjadikannya sebagai simpanan besok pada hari kiamat”. Inilah
buah keimanan yang manis, dan bukti kejujuran keimananya. Sungguh, ukhtiy
fillah, banyak teladan yang bisa kita jadikan contoh dalam meniti jalan jihad
ini…
Dan di zaman kita ini, teladan
itu terlampau banyak…kalau kita mau mencari dan meneladani mereka. Ummat ini
tidaklah mandul untuk melahirkan sosok-sosok khansa’ dan yang semisalnya. Di
sana, ada ummu islambuly rahimahallah yang tak sedih ketika buah hatinya
dieksekusi pemerintah thaghut Mesir karena aksi jihadnya dalam ‘mengeksekusi’
thaghut Anwar Sadat. Ia justru bergembira dan menyajikan hidangan, sesaat
setelah eksekusi anaknya dilangsungkan, dan ia berkata, “Hari ini saya
merayakan pernikahan anak saya dengan hurun ‘iin”. Subhanallah…begitu tegarnya
beliau.
Di sana masih ada sosok ummu
Muhammad (istri asy syahid—kama nahsabuhu wa huwa hasibuhu —‘Abdullah ‘azzam rahimahullah),
di mana beliau begitu sabar ditinggal suaminya berjihad bertahun-tahun.
Bersabar akan kesempitan hidup yang dialaminya di jalan tauhid dan jihad.
Beliau adalah seorang yang zuhud lagi sabar, sebagaimana yang dikatakan oleh
suaminya, syaikh Abdullah Azzam rahimahullah. Beliau memberikan keteladan yang
besar bagi kita para muslimah dalam kesabaran dan ketegaran, ketika suami dan
kedua anaknya syahid di Peshawar, Pakistan. Alangkah sabarnya engkau wahai ummu
Muhammad…
Masih ada pula di zaman kita ini,
sosok seorang istri dan ibu yang menjadi teladan bagi kita. Sebagaimana yang
diceritakan oleh syaikh abu mujahid dalam tulisannya (Realita Jihad)[6], ketika
suami dan anaknya syahid—insyaAllah—dalam peperangan di Afghanistan, ia
tidaklah bersedih karena itu, akan tetapi ia berkata, “Sungguh kesedihankau
karena tidak dapat memberikan bantuan makanan kalian itu lebih aku rasakana,
dari pada kesedihanku karena kehilangan anak kesayangan hatiku…”. Allahu akbar!!
Andai bukan karena ada sesuatu
yang saya khawatirkan, tentulah saya akan ceritakan bagaimana kesabaran dan
ketegaran para istri mujahid dan syuhada’ di negeri kita ini, yang saya
ketahui. Karena—menurut saya—mereka layak untuk dijaidkan contoh bagi kita,
agar kita senantiasa termotivasi.
Maka, wahai cucu-cucu Khansa’,
inilah teladan yang mulia untuk kita, adakah teladan yang lebih baik selain
mereka?
Tidakkah hati kita tergerak untuk
memotivasi ayah, saudara laki-laki, suami dan anak laki-laki kita untuk
berjihad?
Tidak tergerakkah kita untuk menjadi
generasi Khansa’ abad ini?
Sungguh demi Allah, adalah
kebahagiaan sejati bagi kita apabila kita dapat ikut andil dalam kancah jihad
ini. Adalah kebahagiaan yang sempurna bagi kita di dunia ini, apabila Allah
takdirkan kita sebagai anak dari seorang mujahid lagi syuhada’, atau saudara
dari seorang mujahid lagi syuhada’, atau istri dari seorang mujahid lagi
syuhada’ atau ibu dari seorang mujahid lagi syuhada’. Demi Allah, itulah
kemuliaan di dunia ini…
Sesungguhnya, mereka (ayah,
saudara laki-laki, suami dan anak laki-laki kita) suatu saat akan meninggal
juga, cepat atau lambat, baik kita menginginkannya atau pun tidak. Dan
kehidupan di dunia ini hanyalah kehidupan yang semu, sedangkan kehidupan
akhirat itu adalah kehidupan yang sebenarnya. Lalu mengapa tidak kita semangati
mereka untuk turut serta dalam jihad fie sabilillah? Agar di
jannahlah—insyaAllah—kelak kita bisa bertemu dengan mereka, sedangkan
kebahagiaan di jannah itulah kebahagiaan yang hakiki.
“…padahal kenikmatan di dunia ini
(dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit”[7]
2. Membela Mujahideen dengan Lisan
Kita, Menyingkap Syubhat yang Memojokkan Mereka dan Memberikan Hujjah Untuk
Mereka di Hadapan Manusia
Sungguh, ukhtiy muslimah, kita
telah diperintahkan oleh Allah untuk menolong dienNya, dengan apapun yang dapat
kita lakukan. Dan bagian dari menolong dienNya, adalah menolong para
wali-waliNya yang menolong dien Allah, yaitu mujahideen.
“Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu penolong-penolong agama Allah…”[8].
Tugas kita untuk menyebarkan
kemenangan-kemenangan yang diraih mujahideen. Tugas kitalah untuk membela
mereka dengan lisan kita, memberikan hujjah-hujjah yang syar’i untuk membela
mereka, membantah syubhat-syubhat yang menyerang mereka, agar terbayankan bagi
orang yang masih ragu dan tersadarkan bagi orang yang lalai.
Telah ada sosok shohabiyah, ummul
mu’minin, ‘Aisyah binti Abu Bakar radliyallahu ‘anha, yang dengan sigap membela
dien Islam dengan hujah-hujah yang kuat, membantah syubhat dengan dalil-dalil
yang kuat. Darinyalah ratusan hadits diriwayatkan. Beliau radliyallahu ‘anha
merupakan teladan yang cemerlang akan kefaqihan terhadap dien ini. Dan dari
zaman ke zaman, bahkan di zaman kita ini, kita kan dapati muslimah-muslimah
yang mengambil peran ini dalam rangka membela dienNya, membela syari’atNya,
membela jihad dan mujahideen.
Sudah selayaknyalah bagi kita
untuk mempelajari fiqh jihad dan masalah-masalah fiqh yang berkaitan dengan
jihad. Hal ini akan memberikan manfaat bagi mujahideen, ketika kita membela
mereka dari celaan-celaan para penggembos, orang-orang munafik dan orang-orang
kafir. Dan tentu saja, orang yang membantah dengan ilmu tidak akan sama dengan
orang yang membantah tanpa ilmu. Maka bantulah mujahideen dengan memberikan
mereka hujjah, dengan menyingkap syubhat yang menyerang mereka dari kalangan
anti jihad dan para penggembos, serta konspirasi dari kalangan munafik. Serta
memuji mereka (mujahideen) di hadapan manusia serta menyebutkan keunggulan dan
karomah-karomah yang mereka miliki. Dan termasuk di dalamnya adalah, kita
menjelaskan kepada kaum muslimin semuanya akan hakikat perang salib yang
dilancarkan salibis-zionis-komunis-paganis internasional ini.
Bukankah lewat lisan dan tulisan
kitalah, kita mencoba mengharridh kaum muslimin untuk berjihad. Dan bukankah,
jihad dengan lisan ini mendahului sebelum jihad dengan harta dan jiwa?
Seseorang tidak dapat dimotivasi untuk jihad dengan hartanya kecuali dengan
lisan (tulisan), dan tidak dapat dimotivasi untuk jihad dengan jiwanya kecuali
dengan lisan (tulisan). Maka, mengapa kita tidak ikut serta berperan di
dalamnya?
Termasuk dalam peran ini, adalah
menyebarkan semua materi-materi yang berkaitan dengan jihad dan dukungan
terhadapnya, baik berupa buku-buku, buletin-buletin, dan kaset-kaset, yang mana
hal ini dapat dilakukan baik bagi yang pandai menulis atau pun yang tidak
pandai menulis. Menyebarkannya baik melalui email, forum-forum, blog dan
semacamnya.
3. Membantu Mujahideen dengan Harta
Kita
Ukhtiy fillah, janganlah
meremehkan peran harta kita untuk jihad fie sabilillah. Sesungguhnya ia (harta)
memiliki peran penting dalam perjalanan jihad. Harta memiliki sumbangsih yang
besar dalam roda jihad. Tanpanya—bi idznillah—roda jihad tidak bisa berjalan,
perjalanan jihad akan terhenti, dan mujahideen tidak bisa melancarkan aksi-aksi
jihad. Sedangkan Allah telah berfirman, “Belanjakanlah harta kalian di jalan
Allah…”[9]
Dalam banyak ayat Al Qur’an[10],
ketika Allah memerintahkan orang-orang mu’min untuk berjihad fie sabilillah,
maka Allah mendahulukan jihad dengan harta dibandingkan dengan jiwa. Mengapa?
Karena jihad dengan jiwa tidak akan terlaksana tanpa adanya harta yang
mengiringinya. Seorang mujahid tidak bisa pergi berjihad, jika ia tidak
memiliki harta untuk perjalanan jihadnya. Seorang mujahid tidak bisa
melaksanakan aksi jihad, tanpa harta untuk merakit bom—misalnya—atau membeli
senapan atau semacamnya yang merupakan sarana untuk jihad fie sabilillah.
Akan tetapi ini tidak berarti
bahwa jihad dengan harta lebih utama dibandingkan dengan jihad dengan jiwa.
Didahulukannya jihad dengan harta, karena cangkupan yang dibicarakannya sangat
luas; baik dari kalngan laki-laki, wanita, pemuda, lanjut usia, anak kecil dan
orang dewasa, sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh al ‘uyairi
rahimahullah[11].
Hanya dalam 1 ayat[12] saja,
Allah mendahulukan jihad dengan jiwa dibandingkan dengan jihad dengan harta.
Karena dalam ayat ini terdapat transaksi jual beli antara pembeli (Allah)
dengan penjual (orang-orang mukmin), yang mana Allah tawarkan bagi orang mukmin
jannahnya yang sangat mahal, maka wajib bagi orang-orang mukmin untuk
menyerahkan miliknya yang paling berharga, yaitu jiwa.
Lihatlah bagaimana pengorbanan
seorang Khodijah—ummul mu’minin—radliyallahu ‘anha dalam bidang harta untuk
penyebaran dien Islam. Beliau tak ragu sedikit pun menyerahkan hartanya demi
tegaknya dien Islam. Maka, bukankah beliau adalah teladan yang mulia bagi kita?
Lihat pula, bagaimana pengorbanan seorang ummu Muhammad untuk jihad fie
sabilillah dan untuk keluarga mujahideen. Dan masih banyak lagi,
teladan-teladan di zaman kita ini (bahkan di negeri kita ini) yang patut kita
jadikan contoh baik yang tersembunyi mapun yang dzahir (tampak), jika saja kita
mau mencari dan meneladani mereka.
Ukhtiy fillah, sesungguhnya
apabila kita belum mampu membantu mujahideen dengan jiwa kita, maka bantulah
mereka dengan harta kita. Bukankah kewajiban kita untuk mengurusi keluarga yang
ditinggalkan mujahideen? Bukankah kewajiban kita untuk memberangkatkan
mujahideen dengan harta kita? Sungguh di dalamnya ada kemuliaan dan pahala yang
besar.
Dalam hadis shahih disebutkan,
“Barang siapa membekali orang
yang berjihad di jalan Allah, maka dia mendapatkan pahala seperti pahalanya
tanpa mengurangi pahala orang yang berjihad tersebut sedikit pun”[13]
“Siapa pun di antara kalian yang
menggantikan tugas orang yang keluar berjihad di keluarganya dan hartanya
dengan baik, maka dia berhak mendapatkan setengah pahala orang yang keluar
berjihad”[14]
Termasuk di dalamnya adalah, kita
mengumpulkan sedekah dari kaum muslimin untuk mujahideen dan keluarga mereka.
Dan juga membayar zakat untuk mujahideen, karena salah satu ashnaf yang berhak
memperoleh zakat adalah mujahideen sebagaimana yang Allah sebutkan dalam al
qur’an[15] yaitu “ashnaf fie sabilillah”.
Demikian juga, kita harus
mengeluarkan harta untuk membebaskan mujahideen yang tertawan. Karena
sesungguhnya tugas kaum musliminlah (yang mampu) untuk membebaskan tiap kaum
muslimin yang ditawan orang-orang kafir, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda;
“Bebaskanlah tawanan, berilah
makan orang yang kelaparan, dan jenguklah orang yang sakit”.[16]
Maka, ambilah peran ini sesuai
kemampuan kita. Jangan sampai kita tertinggal dari “Pasar Jihad” ini.
4. Membantu Mujahideen dengan Jiwa Kita
Inilah puncak pengorbanan yang
tertinggi dalam pengorbanan untuk dien Islam dan kaum muslimin, pengorbanan
untuk jihad dan mujahideen. Pengorbanan yang mahal, karena jiwa menjadi
tebusannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan di antara manusia ada yang
menjual dirinya untuk mencari ridha Allah. Dan Allah Maha Penyantun terhadap
hamba-hambaNya”[17]
Memang benar, tidaklah menjadi
fardlu ‘ain seorang muslimah turut serta dalam jihad dengan jiwa memerangi
orang-orang kafir, akan tetapi status hukumnya adalah keutamaan (dengan tetap
memperhatikan batasan-batasannya, seperti ada mahrom, berhijab, aman dari
fitnah dll), dan hanya dalam kondisi tertentu saja muslimah diwajibkan[18].
Akan tetapi, tidakkah hati kita tergerak untuk ikut serta di dalamnya? Sedangkan
jihad adalah amalan yang tertinggi, pahala syahid yang Allah janjikan sangatlah
menggiurkan, sedangkan telah banyak teladan sebelum kita yang telah memberikan
contoh untuk kita?
Inilah dia Shofiyah binti Abdul
Muthalib radliyallahu ‘anha, bibi Rasulullaah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
saudara kandung dari Hamzah bin Abdul Muthalib radliyallahu ‘anhu. Ia adalah
seorang wanita mukminah yang telah berba’iat, juga mujahidah yang sabar. Betapa
pemberaninya ia dalam keikutsertaan jihadnya bersama Rasulullah dalam perang
Khandak, tatkala Yahudi berupaya melakukan penyerangan yang busuk terhadap
pasukan wanita. Ia tak ragu untuk membunuh si Yahudi ini dengan tongkat dari
kayu. Dialah, sebagaimana yang ia katakan, “wanita pertama yang membunuh
seorang laki-laki”. Dia bahkan lebih berani dibandingkan kebanyakan para lelaki
zaman ini.
Inilah ummu ‘umarah (Nasibah
binti Ka’ab) radliyallahu ‘anha, prajurit yang beriman, di mana ia tak sedikit
pun ragu untuk membela Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang
Uhud, di mana saat itu banyak dari para lelaki meninggalkan medan jihad karena
rasa takut akan musuh. Ia tak segan membela Rasulullah dengan jiwanya,
menebaskan padang pada musuh-musuh Allah meski dalam kondisi terluka.
Kepadanyalah Rasullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Siapakah yang
sanggup melakukan sebagaimana yang kau lakukan ini, wahai ummu ‘umarah?”.
Begitulah para shohabiyah
radliyallahu ‘anhunna. Keimanan mereka, mereka buktikan dengan keikutsertaan
dalam pembelaan terhadap dien ini dengan lisan, harta dan jiwa mereka. Karena
sesungguhnya keimanan itu membutuhkan pembuktian. Dan kepada merekalah
(shohabiyah), kita mengambil teladan, dan kepada merekalah kita bercermin.
Kita tidak melupakan keberanian
Royyim ar Royaasyiy rahimahallah, muslimah Palestina, seorang istisyhadiah yang
telah menjual dengan murah jiwanya di jalan Allah. Ia memberikan teladan yang
sangat mengagumkan akan pengorbanan jiwa di jalan Allah. Ia telah meneruskan
“garis keturunan” shofiyah dan ummu ‘umaroh dalam keberaniannya membela dien
Islam.
Kita pun tak melupakan sosok
Sana’ Al Muhaidily rahimahallah, pelaku istisyhadiyah di Libanon yang telah
menewaskan kurang lebih 300 tentara kafir Amerika. Ia tak gentar, meskipun
jiwanya melayang di jalan Allah. Alangkah mulianya engkau wahai Al Muhaidily.
Sungguh, alangkah mulianya…
Tak ketinggalan pula, pengorbanan
Nausyah Asy Syammary dan Waddad Ad Dulaimiy rahimahumullah di jalan Allah di
bumi Iraq, yang sangat menawan hati dan penglihatan kita. Maka, adakah di antara
kita yang mau mengambil pelajaran dari mereka ya ukhtiy?
Ukhtiy fillah, inilah peran-peran
yang bisa kita sumbangkan dalam kancah jihad.
Dan satu peran lagi dalam rangka
membantu mujahideen yang setiap orang dapat melakukannya, baik muda atau pun
tua, baik kaya atau pun miskin, baik yang sudah memiliki anak maupun belum,
baik yang sudah menikah atau pun belum…ia adalah do’a.
Kita harus mendoakan mujahideen
agar mereka tetap teguh di atas jalan jihad, agar mereka dapat mengalahkan
musuh-musuh mereka dengan pertolongan Allah, dan agar Allah menimpakan
kecelakaan bagi musuh-musuhNya. Juga kita harus berdoa untuk mujahideen yang
tertawan agar segera dibebaskan, untuk mujahideen yang terluka agar segera
sembuh, untuk mujahideen yang gugur di medan jihad agar diterima sebagai
syuhada’ dan berdoa untuk para pemimpin mereka. Demikian juga, kita harus
mendoakan anak-anak dan keluarga mereka agar sabar, selamat dan terpelihara.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam pernah memanjatkan doa qunut selama sebulan penuh untuk tiga orang
shahabat yang tertawan di Mekkah. Kaum musyrikin Mekkah menyiksa mereka dan
memaksa mereka untuk murtad. Di antara doa yang beliau panjatkan adalah, “Ya
Allah, selamatkan Walid bin Walid, Salamah bin Hisyam dan ‘Ayyasy bi Abu Rabi’ah”[19].
Dan sesungguhnya “doa adalah
senjata kaum muslimin”. Maka hendaklah berdoa di waktu-waktu mustajab, bersabar
dan berhusnuzhan pada Allah bahwa Dia pasti akan mengabulkannya.
Sungguh demi Allah, sedikit
apapun usaha kita dalam rangka membela dien Allah, dalam rangka membela
syari’atNya, maka selama kita ikhlas tentu ada nilainya di sisi Allah. Maka
usahakan apa saja yang kita bisa untuk membela dien Allah, untuk membela jihad
dan mujahideen, untuk berpartisipasi dalam perjuangan ini. Karena sesungguhnya
setiap pasar itu akan ada waktunya ditutup. Dan jika pasar jihad telah ditutup,
maka pulanglah orang yang telah berpastisipasi dengan membawa keberuntungan,
dan merugilah orang-orang yang hanya duduk-duduk saja tanpa ikut serta membantu.
Ukhtiy Muslimah, sungguh, ummat
ini membutuhkan sosok-sosok teladan seperti mereka (para shahabiyyah
radliyallahu ‘anhunna), yang tak ragu menawarkan dengan murah ruhnya di jalan
Allah. Ummat ini membutuhkan sosok-sosok seperti mereka yang menyerahkan buah
hatinya untuk dijadikan ‘tumbal’ fie sabilillah. Ummat ini membutuhkan
sosok-sosok seperti mereka yang bersabar di atas jalan tauhid dan jihad, lagi
berinfak fie sabilillah. Maka masih adakah alasan bagi kita—wahai ukhtiy—untuk
tidak ikut serta dalam jihad ini?
Dan sungguh, dalam medan jihad
saat ini, ummat ini belum mandul untuk melahirkan kstaria-ksatria wanita yang
keberaniannya seperti mereka. Ummat ini belum mandul untuk menampilkan
keberanian muslimah-muslimah dalam medan peperangan, juga belum kering rahim
ummat ini untuk tetap melahirkan sosok-sosok teladan atas pengorbanan diri
untuk dienullah.
Dan ummat ini tidaklah mandul
untuk melahirkan kembali sosok-sosok shofiyah dan ummu ‘umarah, untuk
melahirkan sosok seperti Al Khansa’ radliyallahu ‘anhuma, demi Allah tidak!
Selamanya, generasi penerus shofiyah dan ummu ‘ummarah akan senantiasa ada,
generasi penerus Khonsa’ akan senantiasa bermunculan, dengan atau tanpa
keikutsertaan kita di dalamnya.
Referensi:
· “39 Cara Membantu Mujahidin”, Syaikh
Muhammad bin Ahmad As Salam
· “Kado Untuk Mujahidah”, softcopy
terbitan Al Qoidun Group
· “Nasihat-nasihat Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam; Penawar Lelah Pengemban Dakwah”, Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam
rahimahullah
· “Sirah Shahabiyah”, Syaikh Mahmud
Mahdi Al Istambuli Musthafa Abu Nashr Asy Syalabi
=============
[1] An Nisa : 124
[2] HR. Bukhori
[3] Penjelasan jihad saat ini
telah menjadi fardlu ‘ain telah banyak dijabarkan oleh para ulama’ yang hanif
dalam kitab-kitab mereka, di antaranya; Al ‘Umdah Fie I’dadil ‘Uddah karya
syaikh ‘Abdul Qodir bin ‘Abdul ‘Aziz, Ad Difa’ ‘An ‘Arodhil Muslimin Ahammu
Furudhil A’yan karya syaikh ‘Abdullah ‘Azzam, Qooluu Fa Qul ‘Anil Jihad karya
Harits Abdus Salam al Mishry, dan kitab-kitab lainnya.
[4] An Nisa’ : 84
[5] Al Anfal : 65
[6] Kado Untuk Mujahidah,
softcopy terbitan “Al Qho’iduun group”.
[7] At Tawbah : 38
[8] As Saff : 14
[9] Al Baqarah : 195
[110 At tawbah : 41 ; At
Tawbah : 20 ; Al Anfal : 72 ; Al Anfal : 74 dan lain-lain.
[11] Dari “39 cara membantu
mujahidin”, Muhammad bin ahmad as salam.
[12] Yaitu At Tawbah : 111
[13] HR. Ibnu Majah dari Zaid bin
Khalid
[14] HR. Muskim dan Abu Dawud
dari Abu Sa’id
[15] QS. At Taubah : 60
[16] HR. Bukhori
[17] Al Baqoroh : 207
[18] Lihat penjelasan
dalil-dalinya dalam kitab “Al ‘Umdah Fie I’dadil ‘Uddah” karya syaikh ‘Abdul
Qodir bin ‘Abdul ‘aziz dan kitab “Fie Zhilali Surati At Tawbah” karya syaikh
‘Abdullah ‘Azzam rahimahullah dan kitab-kitab berkenaan jihad lainnya.
[19] HR. Bukhori, HR. Muslim, HR.
Abu Dawud, dan HR. An Nasa’i dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu.