Ulama Pemimpin Umat
Mungkin banyak yang sudah melupakan buku
Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam karya Buya Hamka. Buku itu memang tipis
saja, nampak tidak sebanding dengan koleksi masif seperti Tafsir Al Azhar,
namun tipisnya buku tidak identik dengan kurangnya isi, apalagi pendeknya visi.
Sesuai judulnya, buku tersebut membahas masalah-masalah seputar ghirah dengan
bercermin pada kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Meskipun buku ini
diterbitkan pada awal tahun 1980-an, pada kenyataannya masih banyak pelajaran
yang dapat kita ambil untuk dipraktekkan dalam kehidupan di masa kini.
Buya
Hamka memulai uraiannya dengan sebuah kasus yang dijumpainya di Medan pada
tahun 1938. Seorang pemuda ditangkap karena membunuh seorang pemuda lain yang
telah berbuat tidak senonoh dengan saudara perempuannya. Sang pemuda pembunuh
itu pun dihukum 15 tahun penjara. Akan tetapi, tidak sebagaimana narapidana
pada umumnya, sang pemuda menerima hukuman dengan kepala tegak, bahkan penuh
kebanggaan. Menurutnya, 15 tahun di penjara karena membela kehormatan keluarga
jauh lebih mulia daripada hidup bebas 15 tahun dalam keadaan membiarakan
saudara perempuannya berbuat hina dengan orang.
Dalam
sejarah peradaban Indonesia, suku-suku lain pun memiliki semangat yang tidak
kalah tingginya dalam menebus kehormatan. Menurut Hamka, bangsa-bangsa Barat
sudah lama mengetahui sifat ini. Mereka telah berkali-kali dikejutkan dengan
ringannya tangan orang Bugis untuk membunuh orang kalau kehormatannya
disinggung. Demikian pula orang Madura, jika dipenjara karena membela
kehormatan diri, setelah bebas dari penjara ia akan disambut oleh keluarganya,
dibelikan pakaian baru dan sebagainya. Orang Melayu pun dikenal gagah perkasa
kalau sampai harga dirinya disinggung. Bila malu telah ditebus, biasanya mereka
akan menyerahkan diri pada polisi dan menerima hukuman yang dijatuhkan dengan
baik.
Di
masa lalu, anak-anak perempuan di ranah Minang betul-betul dijaga. Para pemuda
biasa tidur di surau untuk menjaga kampung, salah satunya untuk menjaga agar
anak-anak gadis tidak terjerumus dalam perbuatan atau pergaulan yang menodai
kehormatan kampung. Pergaulan antara lelaki dan perempuan dibolehkan, namun ada
batas-batas tegas yang jangan sampai dilanggar. Kalau ada minat, boleh
disampaikan langsung kepada orang tua.
Di
jaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. dulu pernah ada juga kejadian
dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa (yang mungkin dianggap) kecil saja.
Seorang perempuan datang membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi
dari kalangan Bani Qainuqa’. Selagi tukang sepuh itu bekerja, ia duduk
menunggu. Datanglah sekelompok orang Yahudi meminta perempuan itu membuka
penutup mukanya, namun ia menolak. Tanpa sepengetahuanny a, si tukang sepuh
diam-diam menyangkutkan pakaiannya, sehingga auratnya terbuka ketika ia berdiri.
Jeritan sang Muslimah, yang dilatari oleh suara tawa orang-orang Yahudi tadi,
terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda dengan sigap membunuh si
tukang sepuh, kemudian ia pun dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Perbuatan yang
mungkin pada awalnya dianggap sebagai candaan saja, dianggap sebagai sebuah
insiden serius oleh kaum Muslimin. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. pun
langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah
dan semuanya diusir dari kota Madinah.
Itulah
ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai “kecemburuan”.
Penjajahan
kolonial di Indonesia membawa masuk pengaruh Barat dalam pergaulan muda-mudi
bangsa Indonesia. Pergaulan lelaki dan perempuan menjadi semakin bebas, sejalan
dengan masifnya serbuan film-film Barat. Batas aurat semakin berkurang,
sedangkan kaum perempuan bebas bekerja di kantor-kantor. Demi karir, mereka
rela diwajibkan berpakaian minim, sedangkan keluarganya pun merasa terhormat
jika mereka punya karir, tidak peduli bagaimana caranya. Tidak ada lagi
kecemburuan.
Tidak
ada yang boleh marah melihat anak perempuannya digandeng pemuda yang entah dari
mana datangnya. Suami harus lapang dada kalau istrinya pergi bekerja dengan
standar berpakaian yang jauh dari syariat, karena itulah yang disebut “tuntutan
pekerjaan”.
Sesungguhnya
ghirah itu merupakan bagian dari ajaran agama. Pemuda Muslim yang membela
saudarinya dari gangguan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ menjawab jerit
tangisnya karena adanya ikatan aqidah yang begitu kuat. Menghina seorang
Muslimah sama dengan merendahkan umat Islam secara keseluruhan.
Ghirah
adalah konsekuensi iman itu sendiri. Orang yang beriman akan tersinggung jika
agamanya dihina, bahkan agamanya itu akan didahulukan daripada keselamatan
dirinya sendiri. Bangsa-bangsa penjajah pun telah mengerti tabiat umat Islam
yang semacam ini. Perlahan-lahan, dikulitinyalah ghirah umat. Jika rasa
cemburunya sudah lenyap, sirnalah perlawanannya.
Buya
Hamka mengkritik keras umat Muslim yang memuji-muji Mahatma Gandhi tanpa pengetahuan
yang memadai. Gandhi memang dikenal luas sebagai tokoh perdamaian yang
menganjurkan sikap saling menghormati di antara umat beragama, bahkan ia pernah
mengatakan bahwa semua agama dihormati sebagaimana agamanya sendiri. Pada
kenyataannya, Gandhi berkali-kali membujuk orang-orang dekatnya yang telah
beralih kepada agama Islam agar kembali memeluk agama Hindu. Kalau tidak
dituruti keinginannya, Gandhi rela mogok makan. Itulah sikap sejatinya, yang
begitu cemburu pada Islam, sehingga tidak menginginkan Islam bangkit, apalagi
memperoleh kemerdekaan dengan berdirinya negara Pakistan.
Dua
dasawarsa lebih berlalu dari wafatnya Hamka, nyatalah bahwa hilangnya ghirah
adalah salah satu masalah terbesar yang menggerogoti umat Islam di Indonesia.
Sekarang, orang tua pun rela menyokong habis-habisan anak perempuannya untuk
menjadi mangsa dunia hiburan. Para ibu mendampingi putri-putrinya mendaftarkan
diri di kontes-kontes model dan kecantikan , yang sebenarnya hanya nama samaran
dari kontes mengobral aurat.
Kalau
kepada putri sendiri sudah lenyap kepeduliannya, kepada agamanya pun begitu.
Makanan fast food dikejar karena prestise, tak peduli keuntungannya melayang ke
Israel untuk dibelikan sebutir peluru yang akhirnya bersarang di kepala seorang
bayi di Palestina. Kalau dulu seluruh kekuatan militer umat Islam dikerahkan
untuk mengepung Bani Qainuqa’ hanya karena satu Muslimah dihina oleh tukang
sepuh, maka kini jutaan perempuan Muslimah diperkosa, jutaan kepala bayi
diremukkan dan jutaan pemuda dibunuh, namun tak ada satu angkatan bersenjata
pun yang datang menolong.
Luar
biasa generasi anak-cucu Buya Hamka, karena mereka telah benar-benar mati rasa
dengan agamanya sendiri. Ketika anak-anak muda dibombardir dengan pornografi,
maka umatlah yang dipaksa diam dengan alasan kebebasan berekspresi. Tari-tarian
erotis digelar sampai ke kampung-kampung yang penduduknya tak punya cukup nasi
di dapurnya, hingga yang terpikir oleh mereka hanya jalan-jalan yang serba
pintas. Ramai orang mengaku nabi, sementara para pemuka masyarakat justru
menyuruh umat Islam untuk berlapang dada saja. Padahal yang mengaku-ngaku nabi
ini ajarannya tidak jauh berbeda: syariat direndahkan, kewajiban-kewaj iban
dihapuskan, para pengikut disuruh mengumpulkan uang tanpa peduli caranya, orang
lain dikafirkan, bahkan para pengikutnya yang perempuan disuruh memberikan
kehormatannya pada sang nabi palsu. Atas nama Hak Asasi Manusia, umat disuruh
rela berbagi nama Islam dengan para pemuja syahwat.
Atas
nama toleransi, dulu umat Islam digugat karena penjelasan untuk Surah
Al-Ikhlash dalam buku pelajaran agama Islam dianggap melecehkan doktrin
trinitas. Kini, atas nama pluralisme, umat Islam dipaksa untuk mengakui bahwa
semua agama itu sama-sama baik, sama-sama benar, dan semua bisa masuk surga
melalui agamanya masing-masing. Maka pantaslah bagi kita untuk merenungkan
kembali pesan Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar ketika menjelaskan makna dari
ayat ke-9 dalam Surah Al-Mumtahanah:
…orang
yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata; “Bagi saya segala agama
itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya.” Orang yang berkata
begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia
mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai dengan
kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya
Islam.
“Kecemburuan
adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta.”
Dan
apabila Ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh
ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan
hantarkan ke kuburan. (Buya Hamka)
“Wahai
yang bersemangat lemah, sesungguhnya jalan ini padanya Nuh menjadi tua, Yahya
dibunuh, Zakariya digergaji, Ibrahim dilemparkan ke api yang membara, dan
Muhammad disiksa, dan engkau menginginkan Islam yang mudah, yang mendatangi
kedua kakimu?”
~
Ibnu Qayyim al-Jauziyah ~
TOPIK: BUYA HAMKA, GHIRAH DAN TANTANGAN, INDONESIA,
- See more at: http://www.arrahmah.com/rubrik/buya-hamka-ghirah-dan-tantangan-terhadap-islam.html#s
thash.diQoPkMO.dpuf